Rabu, 05 Februari 2020

review buku: Lengking Burung Kasuari, sepotong kisah di timur negeri

0 komentar

Setiap keluarga memiliki kisahnya masing-masing. Unik, khas, dan sakral. Tiap peristiwa yang terjadi dari hari ke hari akan menjadi kenangan tersendiri dan bahkan akan disimpan secara berbeda dalam memori masing-masing anggota keluarga.
Begitu pula kisah yang diceritakan dalam buku Lengking Burung Kasuari karya Nunuk Y Kusmiana yang menjadi Pemenang Unggulan sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2016. Buku ini berisi cerita sehari-hari yang nampak seperti peristiwa yang biasa terjadi di sebuah keluarga namun terasa istimewa karena dituturkan oleh Asih, bocah berumur 7 tahun. Di mata Asih yang masih sangat polos memandang dunia, masalah-masalah sederhana kadang menjadi beban yang berat, namun di sisi lain masalah-masalah yang berat bagi ayah dan ibunya, hanya angin lalu yang kemudian dilupakan keesokan harinya ketika Ia sudah sibuk bermain dengan teman-temannya.

Buku ini menceritakan kehidupan sebuah keluarga asli Jawa timur yang merantau ke Papua di tahun 1970.  Bapak Asih adalah seorang tentara yang ditugaskan di pulau itu, Ia memutuskan mengajak istri dan dua anaknya menyusulnya ke sana. Tak disangka, keputusan itu membawa dampak yang luar biasa bagi hidupnya. Selain urusan pekerjaan, Ia juga harus berhadapan dengan berbagai persoalan domestik di rumah tangganya. Ibu Asih adalah seorang istri yang berasal dari keluarga kaya. Pindah ke tempat dengan berbagai keterbatasan tidak membuatnya menjadi manja. Atas segala kekurangan materi yang ia hadapi di tanah rantau, Ibu Asih memutuskan untuk berjuang mengurusi urusan dapur, merawat kedua anaknya, dan merintis bisnis di tempat yang benar-benar asing baginya. Sedangkan Asih, bocah kecil yang tidak terlalu pandai dalam urusan sekolah, mengisi hari-harinya seperti layaknya anak kecil pada umumya, bermain dengan adik dan teman-teman barunya, memanjat pohon kersen untuk menikmati buahnya, menanti Bapak dan Ibu pulang kerja, dan menunggu malam untuk mendapatkan dongeng dari Bapak sebagai pengantar tidurnya. Tak disangka, di tengah kehidupan mereka yang nampak biasa-biasa saja, mereka harus bertemu dengan orang-orang rantau dari berbagai suku yang membuat hidup mereka lebih berwarna.

Di awal kedatangannya di Jayapura, Asih ditakut-takuti tentang Tukang potong Kep oleh Sendy, temannya. Tukang potong kep digambarkan seorang berwajah seram, berjalan kemana-mana membawa parang untuk mencari kepala bocah kecil. Sebagai anak-anak, Asih percaya saja dengan cerita itu. Hingga ahirnya misteri tukang kep terjawab di ahir buku. Jawaban yang sesungguhnya bukan jawaban karena kita semua pasti sudah tahu. Kehidupan Asih menjadi sedikit lebih sulit ketika dia berhubungan dengan tante Tamb. Orang yang seringkali seenaknya saja menyuruh Asih menjaga si Butet, anaknya yang masih bayi. Asih yang masih lugu tak bisa menolak permintaan Tante Tamb yang langsung pergi entah kemana meninggalkan Asih kebingungan mengurusi anak bayi yang sangat rewel. Rupanya kepergian Tante Tamb ini juga akan menjadi peristiwa besar dalam kehidupan keluarga Asih.


Bagi saya, membaca buku ini seperti ketika menikmati sebungkus popcorn asin. Hanya sedikit rasa yang sederhana saja, namun sangat asik dinikmati sedikit demi sedikit hingga tak terasa habis juga. Buku ini sangat cocok dibaca ketika lelah menghadapi senang dan sedih yang naik dan turun secara tajam, karena ceritanya bisa membawa kita ke suasana yang santai dimana waktu terasa berputar lebih lambat. Mungkin akan sedikit bosan di beberapa bagian, terutama ketika cerita berputar-putar di area bermain Asih. Namun, penggambaran suasana tanah papua dan pantai-pantainya, burung kasuari dan pohon kersen, juga orang-orang rantau yang berjuang di sana, lengkap dengan sedikit sejarah yang menyelimutinya,  akan membawa imajinasi ke tempat nun jauh di sana.

Rabu, 14 Februari 2018

Mie Mbah Tusiyem, Kebumen

10 komentar


Kebumen sudah menjadi rumah kedua bagi saya. Setiap bulan hampir dua atau tiga kali saya kunjungi. Setiap mengunjungi Ibu mertua saya di kota itu, pasti saya sempatkan untuk jalan-jalan. Saya suka mencari hal baru dari kota ini, entah itu tempat wisata atau makanan yang saya coba satu per satu. Salah satu tempat makan yang baru saya coba adalah Mie Mbah Tusiyem.

Tempat makan Mie Mbah Tusiyem ada di daerah Pucangan RT 01 RW 04, Kecamatan Ambal, Kebumen. Bagi yang sudah sering berjalan-jalan di pantai-pantai di Kebumen pasti sudah akrab dengan daerah ini. Jalan utama Ambal kebumen memang jalur menuju beberapa pantai terkenal di Kebumen, selain itu daerah ini juga sangat terkenal atas kuliner sate ayamnya yang unik, yaitu sate Ambal. Saya sendiri sudah sangat sering melewati jalur ini tapi baru tahu bahwa di tempat ini ada kuliner lain selain sate.

Berbekal informasi dari tetangga dan peta dari Google, saya mencari tempat makan Mie Mbah Tusiyem. Lokasinya sendiri agak jauh dari jalan utama. Harus masuk ke jalan kampung, tetapi masih muat dilalui mobil. Saya sempat kesulitan menemukannya, berkali kali saya bertanya pada orang yang saya temui di Jalan. Tetapi mereka sudah sangat paham lokasi Mi Mbah Tusiyem jadi bisa memberikan informasi yang sangat membantu. Saya sendiri tidak tahu pasti lokasinya, satu yang membuat saya yakin lokasi tempat ini adalah ketika melihat beberapa mobil terparkir di halaman sebuah rumah jawa yang cukup tua. Saya langsung yakin pasti di situ tempatnya. Ketika saya parkir baru saya lihat ada sebuah spanduk nama tempat ini, karna dari kejauhan spanduk ini terhalang  pohon pisang.

 Saya bukan orang yang gemar makan di tempat mewah nan rapih. Tempat makan seperti rumah lah yang selalu membuat saya betah. Mungkin ini yang membuat saya terkesan sejak pertama memasuki tempat ini. Tempat makannya benar-benar membuat saya merasa sedang bertamu ke rumah Mbah Tusiyem. Meja kayu dan bangku bambu yang digunakan sama seperti meja dan bangku yang  biasa saya temui di rumah mbah-mbah zaman dulu. 

Saya disambut oleh mbah kakung  yang mungkin usianya sudah 70an tahun. Hanya dengan menggunakan kaus singlet mbah tersebut menanyakan pesanan saya. Saya langsung memesan bakmi rebus dan teh manis hangat. Saya sendiri sebetulnya kurang tahu pasti menu apa saja yang disediakan karena tidak ada daftar menu di sana, jadi saya pesan saja menu utamanya. Sambil menunggu pesanan saya mencicipi peyek kacang tanah yang tersedia di meja. Sesekali saya mengintip ke dapur Mbah Tusiyem yang masih sangat tradisional bentuknya. Rupanya mbah Tusiyem sendiri yang memasak bakmi tersebut. Meskipun sudah sangat sepuh tetapi mbah Tusiyem masih memasak dengan sangat gesit.





Begitu dihidang di meja, harum kaldu langsung menggugah selera. Saya yang sudah lapar di jam makan siang  tidak sabar ingin segera menyantap mienya meskipun asap panas masih mengepul. Suiran besar ayam kampung tampak pada bagian atas mie kuning. Seledri dan bawang goreng sebagai taburan  diberikan tidak tanggung-tanggung, melimpah bukan sekedar hiasan belaka. Benar saja, begitu diaduk dan saya cicipi kuahnya, gurih kaldu ayam kampung menyatu dengan rasa bawang goreng dan seledri. Sedap sekali. Rasa mie nya sendiri sama dengan mi kuning pada umumnya, kenyal dan lembut, memang kuah dan isian ayamnya yang membuat rasanya istimewa.

Selain mie, Mbah Tusiyem juga menghidangkan sepiring ayam goreng dan sambel korek dalam wadah gerabah  meskipun saya tidak memesannya. Saya ambil satu potong ayam goreng kampungnya, begitu saya cicipi saya langsung ingat ayam goreng buatan Ibuk, khas sekali rasanya, ayam goreng dengan bumbu sederhana dan tidak berlebihan sehingga rasa daging ayam kampungnya begitu terasa. Oh iya satu lagi, teh manis yang dihidangkan pun membuat saya terkesan, sesuai dengan prinsip teh orang jawa, panas legi kenthel. Rasa sepetnya pekat, seperti pada teh poci, hanya saja dihidangkan dalam gelas ukuran yang lebih besar.




Sempat saya ngobrol dengan Mbah Tusiyem, saya tanya jualan sejak kapan mbah? Beliau hanya menjawab “sejak kamu belum lahir”. Hehhhe.. saya baru sadar ternyata di spanduk sudah tertulis sejak 1973, ya benar, memang saya belum lahir. Mbah Tusiyem mengawali jualan mie dengan berkeliling kampung, namun karena umur yang tidak lagi muda beliau memutuskan membuka tempat makan sendiri di rumahnya. Tak disangka, warungnya malah terkenal dan banyak pengunjung dari luar kota yang singgah untuk makan bakmi masakan Mbah Tusiyem. Menurut mbah Tusiyem, Beliau menyembelih sekitar tujuh ekor ayam kampung dalam sehari untuk menghidangkan bakmie dan ayam goreng bagi para pengunjung.

Saya sudah tidak sabar untuk berkunjung lagi ke Kebumen dan kembali menikmati masakan Mbah Tusiyem.. Makanan sederhana dengan rasa istimewa memang selalu bikin rindu. Mampirlah ke sana bila kamu ingin merasakan rindu yang sama.

Minggu, 04 Februari 2018

Rajah

0 komentar
Kemarin ibuku bilang, ada yang aneh di toko. Hari itu hingga siang hanya ada satu orang yang beli barang. Lainnya cuma berkunjung dan tidak beli. Lalu ibuku bersih-bersih di sekitar toko.  Ketika Ibu membersihkan pot bunga pucuk merah, Ibu menemukan sebuah kertas bertuliskan rajah, semacam tulisan arab, dan di sekitarnya ada sebotol kecil minyak, lalu bunga-bunga yang ditebar.
Ibu mengabari kami.
Reaksiku dan suami?
tertawa..
Lucu sekali bukan?
Ada hal seperti itu. Kami alami sendiri. Selama ini hal-hal seperti itu hanya kami dengar lewat cerita.
Apakah itu gaib atau ada yang iri atau semacam itu kami tidak khawatir.
Kami hanya merasa lucu
Coba kamu bayangkan ada orang datang ke (katakanlah) dukun. Terbayang tidak dialognya?
Apakah seperti ini?
"mbah ada orang yang saya tidak suka, gimana kalo dagangannya kita bikin tidak laris?"
atau
"mbah tolong bantu saya, saya ingin supaya toko itu tidak laris"
lalu mbah dukunnya "tenang akan kubantu, ini rajah, bunga dan minyak untukmu, taroh di tokonya nanti tokonya tidak laku"
"ok baik mbah, ini ongkosnya"
hahhaa...
Membayangkan dialognya saja sudah bikin kami ketawa
Bagaimana cara orang itu meletakkan benda-benda gaib yang dia bawa
apakah malam-malam dia datang ke toko, mengendap-endap.. merokok dulu di depan toko supaya terlihat natural seperti orang nongkrong kebanyakan, lalu dia korek-korek tanah di pot dan meletakkan benda-benda itu sambil berharap benda-benda itu bekerja sesuai rencana.
hahahha..
Longgar sekali waktu orang itu.
Trimakasih atas perhatiannya.
Trimakasih atas kelucuannya :)

Sebelum lupa

0 komentar
Dalam perjalanan ke kantor tiba-tiba aku terpikir
Aku ingin menulis bebas. Apa saja. Tak perlu dibagus bagusin.
Aku ingin memberitahu suatu hal yang enak enak. Enak sekali hidup kalau tidak perlu memikirkan pendapat orang lain.
Enak sekali bukan, bila hidup tidak memikirkan komentar orang lain. Tidak perlu peduli orang lain suka atau tidak, tidak perlu memikirkan tanggapan orang, tak perlu khawatir reaksi orang atas apa yang kita lakukan. asal itu tidak mengganggu mereka.
begitu juga dengan menulis. Aku hanya ingin menulis sekarang sebelum lupa.

Senin, 21 Maret 2016

SENSI

2 komentar

Kayaknya orang paling sensitif yg pernah Saya temui di dunia adalah.. Aksara!!
gampang banget trenyuh, sedih, dan kebawa ati..

Aksara sudah sering Saya ajak nonton di bioskop. Tentu saja Saya memilih film untuk anak-anak. Hal yang paling Saya takutkan dari membawa Aksara ke bioskop adalah, takut dia sedih dengan filmnya! ini adalah pengalaman kami berkali-kali.
Saat nonton film Doraemon, kirain dia nggak ngerti ceritanya, ternyata dia nangis tersedu-sedu hampir setengah jam, bahkan sampai filmnya habis.. Nangis bukan nangis rewel tapi nangis sedih melihat adegan di dalam film. Tangisnya tidak berhenti sampai saat itu. Besokanya kok ya papanya kebetulan mbeliin dia VCD film Doraemon, daaaan setiap ditonton selalu nangis. Tapi anaknya mau nonton lagi mau nonton lagi. Nangis lagi-nangis lagi.
Hal ini tidak terjadi hanya untuk film itu. Berbagai macam film. Inside out, Good Dinosaur, dan banyak film lainnya.

Rupanya hal ini tidak terjadi hanya karena film. Tapi juga  saat dibacakan buku cerita. Saya tahu Aksara sangat suka dongeng tentang keluarga. Dongeng dengan tokoh ayah, ibu, dan anak. Tapi saya tidak mengira bahwa kesukaanya seekstrim "Semua anak-anak dalam dongeng harus punya Ibu dan Ayah!"

Kejadiannya tadi malam.
Saya menemukan buku cerita "Very hungry catterpillar" 
Buku yang sangat bagus, menceritakan tentang metamorfosis ulat menjadi kupu-kupu dengan sederhana.
Saya menceritakannya dengan alat bantu berupa gambar dari buku itu yang saya saya print, lalu Saya bentuk menjadi semacam wayang.
Aksara senang sekali dengan ceritanya, mulai dari telur yang menetas menjadi ulat, ulat makan banyak, jadi ulat yang gendut, lalu membuat kepompong dan jadilah kupu-kupu yang cantik. Sudah dua kali saya menceritakan cerita ini dan respon dari Aksara adalah tertawa gembira.
Tibalah di kali ke tiga saya ceritakan cerita ini menjelang tidur.
Aksara baru menyadari bahwa di cerita ini hanya ada satu tokoh ulat yang sendirian. Mulai dari menetas hingga menjadi kupu-kupu dia sendirian.
"Mamahnya ulat kecil mana?"
(saya asal saja menjawab) "kan mamahnya ulat itu kupu-kupu, jadi nanti kalo si ulat udah jadi kupu-kupu mamahnya baru njemput"
di sinilah drama terjadi.. jeng jeeeeeng.... Aksara menangis sesenggukan!!
"Ulat nggak ada mamahnya....huaaaaaaaa"
"ada dek.. tapi terbang, kan kupu-kupu"
"Ulat nggak ada mamahnya... huaaaa"
"Ada dek, besok mamah print in gambar mamahnya ulat"
"Nggak, ada.. ulatnya nggak ada mamahnya.."
nangislah dia, sedih, meringkuk di kasur, sesenggukan dari jam 10 malam sampai ketiduran sendiri jam 11 malam.

Senin, 07 Maret 2016

cita-cita

0 komentar
Inget nggak waktu kecil kita punya banyak banget cita-cita?
Kalau saya sih pernah punya cita-cita jadi astronaut (ini waktu SD), jadi Wartawan (dari akhir SD sampe SMA), jadi dokter (ini cita-cita nggak serius), jadi guru, jadi penulis buku anak-anak, dan satu lagi jadi psikolog. Ada yang tercapai? gada! hahaha..
Gampang banget berubah yah? dari SD aja udah galau.. cita-citanya gonta ganti.
Ternyata Aksara juga.
Padahal baru PAUD loh..
nih Emak tulisin biar kamu inget nak, kamu pengen jadi apa dulu waktu kecil.
Setelah kemarin ingin jadi burung hantu rupanya Aksara berubah pikiran.
Kejadiannya beberapa minggu yang lalu, waktu kami sekeluarga pergi ke rumah sakit. Sulluh batuk flu yang lumayan lama, sudah satu minggu lebih. Jadi kami putuskan untuk ke dokter saja. Karena usianya baru 4 bulan jadi dokter menyarankan untuk  diterapi uap supaya dahak dan lendir bisa keluar dari tubuhnya dengan mudah.
Sulluh dibawa ke ruang UGD untuk diterapi uap. Beberapa perawat menyiapkan berbagai peralatan untuk terapi, memasangkan alat-alatnya, juga mengajak si bayi bercanda supaya tidak stress saat diterapi.
Rupanya Aksara memperhatikan.

"Mah, nanti kalau udah besar aku mau jadi perawat aja.. biar kalau adek sakit batuk lagi aku yang ngrawat, nanti kalau adek diuap aku yang nyiapin.."

ah.. sweet..
boleh nak boleh.. InsyaAlloh, kalau niatmu baik jadi perawat bisa membuatmu jadi manusia kesayangan Alloh..

Senin, 22 Februari 2016

Burung Hantu

2 komentar


Suatu hari Ibu Guru di Sekolah Aksara membahas tentang cita-cita. Satu per satu anak maju ke depan dan menceritakan cita-citanya. Ada yang ingin jadi dokter, jadi guru, jadi polisi (waarr biasa yahh anak PAUD usia 3 tahun udah punya keinginan KERJA hehhee..).
Tibalah saat si Aksara maju dan menceritakan cita-citanya. Saat ditanya ingin jadi apa nanti? dengan lantang dijawabnya pengen jadi Burung Hantu! Si Ibu Guru buru-buru "membetulkan" cita-cita si Aksara.
"nggak gitu dek, cita-cita itu ya guru atau tentara atau dokter gitu, Aksara mau jadi apa nanti?"
Aksara langsung diem, nggak mau crita apa-apa lagi.
ah.. yang kutakutkan terjadi juga.
Awalnya aku nggak mau itu masukin anak ke sekolah, takut imajinasinya dipotong dan dikotak-kotakkan. Takut kepolosan anak-anak terenggut dan anak jadi takut berimajinasi. Takut disalahkan.
Rupanya, setelah ditanyakan ke si anak, kenapa ingin jadi burung hantu? dia jawab katanya biar bisa bobok di luar, trus biar liatin papa dari atas pohon kalau papa pergi ke mesjid solat magrib..
sesederhana itu..

 

my little history Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template