Akan menjadi ibu seperti apa aku
ini..
Bahkan belum kutentukan secara
pasti sampai saat ini, bagaimana harus kudidik anakku nanti. Terlalu banyak
orang-orang yang mengaku ahli mengutarakan hasil penelitiannya tentang
kecerdasan seorang anak dan bagaimana menjadikan anak menjadi seperti ini atau seperti itu. Tapi dalam hati kecilku ada perasaan ragu dengan para ahli itu.
Bahasa menjadi salah satu bahan
diskusiku dengan beberapa orang.
Benarkah bila kuajarkan anakku bahasa Inggris
sejak dini? Akhir-akhir ini sedang menjadi tren
terutama di kota-kota besar anak-anak kecil sudah fasih berbahasa Inggris. Namun
sebagai Ibu, aku tidak terlalu terobsesi untuk menjadikan anakku seperti itu. Ada
banyak alasan.
Bahwa dalam bahasa ada dunia, siapa
yang bisa menguasai bahasa akan bisa menguasai segalanya. Betul! Tapi bukan
dengan mengajarkanya terlalu dini, itu hanya pendapatku yang sangat pribadi,
dan mungkin belum terbukti kebenaranya, tapi kuyakini. Dalam bahasa Inggris tak
ada emosi yang tersimpan di dalamnya, tidak ada nilai budaya luhur dalam setiap
katanya, akan berbeda dengan bahasa Indonesia atau bahasa jawa. Dalam kata mati,
meninggal, wafat, tewas, atau gugur ada nilai emosi berbeda yang terkandung di
dalamnya. Tidak demikian dengan bahasa Inggris, hanya memiliki die, atau yang
agak halus mungkin pass away, semuanya die, anjing die, korban bencana die,
pahlawan die. Jangan dibandingkan dengan bahasa jawa yang mengutamakan
kesantunan, mati, mangkat, seda, pejah, sirno margo layu setiap kata memiliki
penggunaan yang sangat berbeda berdasarkan penghormatan terhadap subyeknya.
Kucamkan baik-baik kata Noe Letto, “karena
semestinya kata-kata cerminkan jiwa..”
Betul sekali! Apalagi untuk seorang
anak yang masih sangat bersih jiwanya, seperti kain putih yang akan dicelup
dalam warna-warna. Penggalian jiwa adalah sebuah proses dari kecil hingga tua
nanti, tapi peletakkan dasar kekuatan jiwa ada pada pendidikan ketika dia masih
anak-anak. Jangan heran kalau akhir-akhir ini banyak anak-anak bunuh diri. Sangat
miris, sebegitu rapuhkah jiwa mereka hingga muncul ide untuk mengahiri hidup. Entah
apa yang ada di benak anak-anak itu.
Beberapa waktu yang lalu aku
melintasi sebuah pagar yang disana tergantung sebuah papan bertuliskan “Anjing
dan Babi boleh buang sampah di sini”. Kalimat itu memiliki maksud yang sama
dengan “Dilarang membuang sampah di sini” tapi coba rasakan emosi yang
tersimpan dalam dua kalimat itu. Sungguh sangat berbeda bukan? Tercermin betul
bagaimana jiwa si penulis.
Aku tak ingin anakku menjadi robot
yang mungkin pintar, tapi tak berhati. Anakku boleh menjadi apa saja, tapi dia
harus ingat bahwa Ia manusia yang memiliki ruh. Bahwa ilmu bukan hanya selembar
kertas ijasah. Bahwa cerdas bukan berarti ranking satu atau mendapat nilai
seratus terus terusan. Salah satunya dia harus mengerti bagaimana menghormati
orang lain, bahkan dari tutur katanya.
Iya dia harus belajar bahasa, bukan
hanya bahasa Inggris, bahkan Prancis, Belanda, Cina, Arab, Jerman, Jepang, dan
negara-negara lain untuk mendapat ilmu sebanyak-banyaknya tapi dia harus
memiliki pijakan yang kuat. Bahasanya Sendiri. Jati dirinya yang kemanapun dia
melalang buana dia harus tetap menjadi dirinya. Dia harus sadar dari mana dia
berasal, dia harus tau kemana dia mengakar.
Belajar bahasa sama dengan belajar budaya. Kalo kata pepatah Jawa ajining diri seko lathi. Sebenarnya tidak ada bahasa yang buruk karena bahasa mencerminkan budaya. Begitu juga dengan bahasa Jawa, orang Jawa dikenal sebagai pribadi yang santun, halus, suka menjaga perasaan orang lain, dan bertele-tele. Mungkin karena oyi orang jawa, oyi ingin ngajari anaknya bahasa jawa sejak dini. Menurutku itu nggak salah karena dg belajar bahasa daerah sejak dini, itu berarti ia belajar budaya sejak dini, dan budaya adalah orang pikir. Seperti kata peribahasa Asal ayam pulang ke lumbung, asal itik pulang ke pelimbahan yang artinya tabiat yang melekat kuat, sukar sekali mengubahnya. Di mana pun dia berada dia akan ingat budayanya. Selamat mendidik, cmiiw ya :P
BalasHapustypo itu, budaya adalah pola pikir harusnya -____-
Hapusaku jd bingung mau komen apa malah tercengang
BalasHapusdilihat dr cara penyampeannya dek yosnia menjadi sangat dewasa sekarang :p
...
BalasHapusMirip kata Meina, mungkin karena Oyi orang Jawa (dan Indonesia) jadinya menganggap budaya dan bahasa Jawa (dan Indonesia) paling baik. Tapi apa jadinya kalo tulisan ini dibaca oleh orang Inggris, misalnya. Tidak ada bangsa yang tidak ingin dianggap tak memiliki kesopanan seperti bangsa lain 'kan..
Dalam salah satu bahasa di Indonesia, tidak dikenal ungkapan terima kasih. Lantas apa bisa dikata suku tersebut tidak memiliki sopan santun?
Mungkin yang perlu ditekankan adalah open-minded. Pengkaran budaya tidak selalu bermakna eksklusifitas. Selamat menjadi Ibu, Oyi.. :))
woyooooowww aduh kakak2 harus siap2 juga yess ntar jadi ibu biar nggak mendadak galau lagi.. hihhi..
BalasHapusiyak betul sekali tidak ada yang salah dengan pilihan bahasa yang akan diajarkan, kalo kata orang-orang mah my baby my way..
setiap orang tua punya pilihanya sendiri begitu juga dengan si anak nantinya,
aku terinspirasi dari dek choni yang lucu, seneng ndengerinya kalo lg ngomong..