Begini tulisan Ibu Ainun Habibi pada buku A. Makmur Makka
(,,SABJH’’) hal. 386 ;
“mengapa saya tidak bekerja? Bukankah saya dokter? Memang. Dan
sangat mungkin saya bekerja waktu itu. Namun saya pikir: buat apa uang tambahan
dan kepuasan batin yang barangkali cukup banyak itu jika akhirnya diberikan
pada seorang perawat pengasuh anak bergaji tinggi dengan resiko kami sendiri
kehilangan kedekatan pada anak sendiri? Apa artinya ketambahan uang dan
kepuasan profesional jika akhirnya anak saya tidak dapat saya timang sendiri,
saya bentuk sendiri pribadinya? Anak saya akan tidak mempunyai ibu. Seimbangkah
anak kehilangan ibu bapak, seimbangkah orang tua kehilangan anak, dengan uang
dan kepuasan pribadi tambahan kerena bekerja? Itulah sebabnya saya memutuskan
menerima hidup pas-pasan. Tiga setengah tahun kami bertiga hidup begitu”
Tulisan yang membuatku harus berpikir ulang. Berulang-ulang.
apa yang kau tulis sudah aku tulis sebelumnya pada februari tahun lalu http://meinafebri.blogspot.com/2011/02/ainun-seorang-perempuan-yang-diimpikan.html
BalasHapusini juga cukup buatku galau
Surga ada di telapak kaki Ibu, semua Ibu, bukan cuma ibu rumah tangga, ibu bekerja, atau ibu berbisnis.
BalasHapusuntuk sementara masih buntu ini, tapi nanti pasti ada jalan, InsyaAlloh.
Siap2 ya kaliaaan :)