Kebumen sudah menjadi rumah kedua bagi saya. Setiap bulan hampir
dua atau tiga kali saya kunjungi. Setiap mengunjungi Ibu mertua saya di kota
itu, pasti saya sempatkan untuk jalan-jalan. Saya suka mencari hal baru dari
kota ini, entah itu tempat wisata atau makanan yang saya coba satu per satu.
Salah satu tempat makan yang baru saya coba adalah Mie Mbah Tusiyem.
Tempat makan Mie Mbah Tusiyem ada di daerah Pucangan RT 01
RW 04, Kecamatan Ambal, Kebumen. Bagi yang sudah sering berjalan-jalan di
pantai-pantai di Kebumen pasti sudah akrab dengan daerah ini. Jalan utama Ambal
kebumen memang jalur menuju beberapa pantai terkenal di Kebumen, selain itu
daerah ini juga sangat terkenal atas kuliner sate ayamnya yang unik, yaitu sate
Ambal. Saya sendiri sudah sangat sering melewati jalur ini tapi baru tahu bahwa
di tempat ini ada kuliner lain selain sate.
Berbekal informasi dari tetangga dan peta dari Google, saya
mencari tempat makan Mie Mbah Tusiyem. Lokasinya sendiri agak jauh dari jalan
utama. Harus masuk ke jalan kampung, tetapi masih muat dilalui mobil. Saya
sempat kesulitan menemukannya, berkali kali saya bertanya pada orang yang saya
temui di Jalan. Tetapi mereka sudah sangat paham lokasi Mi Mbah Tusiyem jadi bisa
memberikan informasi yang sangat membantu. Saya sendiri tidak tahu pasti
lokasinya, satu yang membuat saya yakin lokasi tempat ini adalah ketika melihat
beberapa mobil terparkir di halaman sebuah rumah jawa yang cukup tua. Saya
langsung yakin pasti di situ tempatnya. Ketika saya parkir baru saya lihat ada
sebuah spanduk nama tempat ini, karna dari kejauhan spanduk ini terhalang pohon pisang.
Saya bukan
orang yang gemar makan di tempat mewah nan rapih. Tempat makan seperti rumah lah
yang selalu membuat saya betah. Mungkin ini yang membuat saya terkesan sejak pertama memasuki tempat ini. Tempat makannya benar-benar membuat saya merasa
sedang bertamu ke rumah Mbah Tusiyem. Meja kayu dan bangku bambu yang digunakan
sama seperti meja dan bangku yang biasa saya
temui di rumah mbah-mbah zaman dulu.
Saya disambut oleh mbah kakung yang mungkin usianya sudah 70an tahun. Hanya dengan
menggunakan kaus singlet mbah tersebut menanyakan pesanan saya. Saya langsung
memesan bakmi rebus dan teh manis hangat. Saya sendiri sebetulnya kurang tahu
pasti menu apa saja yang disediakan karena tidak ada daftar menu di sana, jadi
saya pesan saja menu utamanya. Sambil menunggu pesanan saya mencicipi peyek
kacang tanah yang tersedia di meja. Sesekali saya mengintip ke dapur Mbah
Tusiyem yang masih sangat tradisional bentuknya. Rupanya mbah Tusiyem sendiri
yang memasak bakmi tersebut. Meskipun sudah sangat sepuh tetapi mbah Tusiyem
masih memasak dengan sangat gesit.
Begitu dihidang di
meja, harum kaldu langsung menggugah selera. Saya yang sudah lapar di jam makan
siang tidak sabar ingin segera menyantap
mienya meskipun asap panas masih mengepul. Suiran besar ayam kampung tampak
pada bagian atas mie kuning. Seledri dan bawang goreng sebagai taburan diberikan tidak tanggung-tanggung, melimpah
bukan sekedar hiasan belaka. Benar saja, begitu diaduk dan saya cicipi kuahnya,
gurih kaldu ayam kampung menyatu dengan rasa bawang goreng dan seledri. Sedap
sekali. Rasa mie nya sendiri sama dengan mi kuning pada umumnya, kenyal dan
lembut, memang kuah dan isian ayamnya yang membuat rasanya istimewa.
Selain mie, Mbah Tusiyem juga menghidangkan sepiring ayam
goreng dan sambel korek dalam wadah gerabah meskipun saya tidak memesannya. Saya ambil
satu potong ayam goreng kampungnya, begitu saya cicipi saya langsung ingat ayam
goreng buatan Ibuk, khas sekali rasanya, ayam goreng dengan bumbu sederhana dan
tidak berlebihan sehingga rasa daging ayam kampungnya begitu terasa. Oh iya
satu lagi, teh manis yang dihidangkan pun membuat saya terkesan, sesuai dengan
prinsip teh orang jawa, panas legi kenthel. Rasa sepetnya pekat, seperti pada teh
poci, hanya saja dihidangkan dalam gelas ukuran yang lebih besar.
Sempat saya ngobrol dengan Mbah Tusiyem, saya tanya jualan
sejak kapan mbah? Beliau hanya menjawab “sejak kamu belum lahir”. Hehhhe.. saya
baru sadar ternyata di spanduk sudah tertulis sejak 1973, ya benar, memang saya
belum lahir. Mbah Tusiyem mengawali jualan mie dengan berkeliling kampung,
namun karena umur yang tidak lagi muda beliau memutuskan membuka tempat makan
sendiri di rumahnya. Tak disangka, warungnya malah terkenal dan banyak
pengunjung dari luar kota yang singgah untuk makan bakmi masakan Mbah Tusiyem. Menurut
mbah Tusiyem, Beliau menyembelih sekitar tujuh ekor ayam kampung dalam sehari
untuk menghidangkan bakmie dan ayam goreng bagi para pengunjung.
Saya sudah tidak sabar untuk berkunjung lagi ke Kebumen dan kembali
menikmati masakan Mbah Tusiyem.. Makanan sederhana dengan rasa istimewa memang
selalu bikin rindu. Mampirlah ke sana bila kamu ingin merasakan rindu yang
sama.