Kamis, 14 Juni 2012

Bahasa



Akan menjadi ibu seperti apa aku ini..

Bahkan belum kutentukan secara pasti sampai saat ini, bagaimana harus kudidik anakku nanti. Terlalu banyak orang-orang yang mengaku ahli mengutarakan hasil penelitiannya tentang kecerdasan seorang anak dan bagaimana menjadikan anak menjadi seperti ini atau seperti itu. Tapi dalam hati kecilku ada perasaan ragu dengan para ahli itu.

Bahasa menjadi salah satu bahan diskusiku dengan beberapa orang.

Benarkah bila kuajarkan anakku bahasa Inggris sejak dini? Akhir-akhir ini sedang menjadi tren terutama di kota-kota besar anak-anak kecil sudah fasih berbahasa Inggris. Namun sebagai Ibu, aku tidak terlalu terobsesi untuk menjadikan anakku seperti itu. Ada banyak alasan.

Bahwa dalam bahasa ada dunia, siapa yang bisa menguasai bahasa akan bisa menguasai segalanya. Betul! Tapi bukan dengan mengajarkanya terlalu dini, itu hanya pendapatku yang sangat pribadi, dan mungkin belum terbukti kebenaranya, tapi kuyakini. Dalam bahasa Inggris tak ada emosi yang tersimpan di dalamnya, tidak ada nilai budaya luhur dalam setiap katanya, akan berbeda dengan bahasa Indonesia atau bahasa jawa. Dalam kata mati, meninggal, wafat, tewas, atau gugur ada nilai emosi berbeda yang terkandung di dalamnya. Tidak demikian dengan bahasa Inggris, hanya memiliki die, atau yang agak halus mungkin pass away, semuanya die, anjing die, korban bencana die, pahlawan die. Jangan dibandingkan dengan bahasa jawa yang mengutamakan kesantunan, mati, mangkat, seda, pejah, sirno margo layu setiap kata memiliki penggunaan yang sangat berbeda berdasarkan penghormatan terhadap subyeknya.

Kucamkan baik-baik kata Noe Letto, “karena semestinya kata-kata cerminkan jiwa..”

Betul sekali! Apalagi untuk seorang anak yang masih sangat bersih jiwanya, seperti kain putih yang akan dicelup dalam warna-warna. Penggalian jiwa adalah sebuah proses dari kecil hingga tua nanti, tapi peletakkan dasar kekuatan jiwa ada pada pendidikan ketika dia masih anak-anak. Jangan heran kalau akhir-akhir ini banyak anak-anak bunuh diri. Sangat miris, sebegitu rapuhkah jiwa mereka hingga muncul ide untuk mengahiri hidup. Entah apa yang ada di benak anak-anak itu.

Beberapa waktu yang lalu aku melintasi sebuah pagar yang disana tergantung sebuah papan bertuliskan “Anjing dan Babi boleh buang sampah di sini”. Kalimat itu memiliki maksud yang sama dengan “Dilarang membuang sampah di sini” tapi coba rasakan emosi yang tersimpan dalam dua kalimat itu. Sungguh sangat berbeda bukan? Tercermin betul bagaimana jiwa si penulis.

Aku tak ingin anakku menjadi robot yang mungkin pintar, tapi tak berhati. Anakku boleh menjadi apa saja, tapi dia harus ingat bahwa Ia manusia yang memiliki ruh. Bahwa ilmu bukan hanya selembar kertas ijasah. Bahwa cerdas bukan berarti ranking satu atau mendapat nilai seratus terus terusan. Salah satunya dia harus mengerti bagaimana menghormati orang lain, bahkan dari tutur katanya.

Iya dia harus belajar bahasa, bukan hanya bahasa Inggris, bahkan Prancis, Belanda, Cina, Arab, Jerman, Jepang, dan negara-negara lain untuk mendapat ilmu sebanyak-banyaknya tapi dia harus memiliki pijakan yang kuat. Bahasanya Sendiri. Jati dirinya yang kemanapun dia melalang buana dia harus tetap menjadi dirinya. Dia harus sadar dari mana dia berasal, dia harus tau kemana dia mengakar.


(pict taken from here )

5 komentar:

  1. Belajar bahasa sama dengan belajar budaya. Kalo kata pepatah Jawa ajining diri seko lathi. Sebenarnya tidak ada bahasa yang buruk karena bahasa mencerminkan budaya. Begitu juga dengan bahasa Jawa, orang Jawa dikenal sebagai pribadi yang santun, halus, suka menjaga perasaan orang lain, dan bertele-tele. Mungkin karena oyi orang jawa, oyi ingin ngajari anaknya bahasa jawa sejak dini. Menurutku itu nggak salah karena dg belajar bahasa daerah sejak dini, itu berarti ia belajar budaya sejak dini, dan budaya adalah orang pikir. Seperti kata peribahasa Asal ayam pulang ke lumbung, asal itik pulang ke pelimbahan yang artinya tabiat yang melekat kuat, sukar sekali mengubahnya. Di mana pun dia berada dia akan ingat budayanya. Selamat mendidik, cmiiw ya :P

    BalasHapus
    Balasan
    1. typo itu, budaya adalah pola pikir harusnya -____-

      Hapus
  2. aku jd bingung mau komen apa malah tercengang
    dilihat dr cara penyampeannya dek yosnia menjadi sangat dewasa sekarang :p

    BalasHapus
  3. ...
    Mirip kata Meina, mungkin karena Oyi orang Jawa (dan Indonesia) jadinya menganggap budaya dan bahasa Jawa (dan Indonesia) paling baik. Tapi apa jadinya kalo tulisan ini dibaca oleh orang Inggris, misalnya. Tidak ada bangsa yang tidak ingin dianggap tak memiliki kesopanan seperti bangsa lain 'kan..

    Dalam salah satu bahasa di Indonesia, tidak dikenal ungkapan terima kasih. Lantas apa bisa dikata suku tersebut tidak memiliki sopan santun?

    Mungkin yang perlu ditekankan adalah open-minded. Pengkaran budaya tidak selalu bermakna eksklusifitas. Selamat menjadi Ibu, Oyi.. :))

    BalasHapus
  4. woyooooowww aduh kakak2 harus siap2 juga yess ntar jadi ibu biar nggak mendadak galau lagi.. hihhi..
    iyak betul sekali tidak ada yang salah dengan pilihan bahasa yang akan diajarkan, kalo kata orang-orang mah my baby my way..
    setiap orang tua punya pilihanya sendiri begitu juga dengan si anak nantinya,
    aku terinspirasi dari dek choni yang lucu, seneng ndengerinya kalo lg ngomong..

    BalasHapus

 

my little history Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template